Showing posts with label Science. Show all posts
Showing posts with label Science. Show all posts

Tuesday, April 14, 2009

Pengenalan anggrek



Sejak zaman dahulu bunga telah digunakan manusia sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan. Dari perasaan senang, sedih, cinta, damai, hingga persahabatan. Karenaya, banyak kegiatan dan suasana yang dilambangkan dengan bunga diantaranya pesta perkawinan, upacara kematian, tunangan, upacara adat, dan saat seseorang mengungkapkan rasa cinta. Jenis dan warna bunga sangat menentukan ungkapan apa yang ingin kita sampaikan.


Selain dimanfaatkan sebagai tanaman untuk mengungkapkan perasaan, bunga juga merupakan salah satu jenis tanaman yang paling banyak di manfaatkan sebagai tanaman hias. Bunga banyak ditanam dikebun-kebun, halaman rumah, pot, bahkan di dalam ruangan sebagai dekorasi. Bukan hanya karena wanginya bunga digunakan sebagai hiasan, tetapi karena warna dan bentuknya. Ruangan yang didalamnya terdapat bunga akan nampak asri, sejuk, dan nyaman.


Beberapa jenis bunga yang sudah populer dan banyak penggemarnya antara lain krisan, melati, mawar, dahlia, gladiol, dan anggrek. Dari beberapa jenis bunga tersebut, anggreklah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat, baik dalam bentuk hidup maupun sebagai bunga potong.


Keunggulan anggrek antara lain jenisnya beraneka ragam yang bisa menyebabkan warna bunga, bentuk, dan ukurannya beraneka ragam pula. Selain itu, anggrek juga relatif mudah dirawat dibandingkan dengan jenis bunga lainnya, bahkan ada beberapa jenis anggrek bisa tumbuh dengan hanya digantungkan, sehingga anggrek tidak terlalu banyak membutuhkan ruangan. Sementara itu, bunga lain harus memakai media tanah untuk tempat tumbuhnya.


Friday, March 6, 2009

Orchid Knowledge

The orchid grower's task, and it is no easy one, is to set in motion the complicated growth processes of the orchid plant, and, through maintenance of proper balance, insure continuation of that process and orchid care.

Using the energy provided by light, the green leaf chlorophyll transforms the carbon dioxide from the air and the mineral salts from moisture into sugar and other carbohydrates.

These energy carbohydrates are stored until needed either for rebuilding plant tissue or for flowering. The pseudobulbs of some types, the large leathery leaves of others, and the slender grass-like leaves of orchids lacking pseudobulbs are the storage reservoirs.

The cycle will continue only if the grower devotes the utmost attention to the special requirements of the orchid. The reward for his devotion comes when the brilliant bloom and beauty of the tropics is reproduced in the greenhouse with orchid care.

No hard and fast rules can be set down for the beginner to follow when it comes to orchid growth and orchid care. It has been said that each grower in his own greenhouse, within limitations established by the plants, is a law unto herself.

The amount of each element in the light-heat-moisture-air formula will vary according to season, experience, and variety. One of the things that make the growing of orchids unique and stimulating is the spirited controversy that arises over every aspect of culture.

One of the many points on which there is no incontroversial procedure is the matter of how much light should be admitted. It must be decided whether to grow the plants 'soft' or 'hard,' to use the parlance of experienced growers.

The amateur must make her own choice. To grow 'soft' means to shade the plants from the sun so that the leaves remain a beautiful dark green. There can be no doubt that this method produces the most beautiful plants, but the quality of bloom is a question that cannot be answered so definitely.

In 'soft' conditions care must be exercised not to shade to the point where flower growth will be hindered.

To grow 'hard' means to allow so much light that the leaves have decided overtones of yellow. This method, while marring the appearance of the plant, is said by its proponents to give increased bloom. Too much light must be avoided, since it will burn the plant and growth will be interrupted.

Dry, yellow flower sheaths will at times result from such sunburn, and incipient buds will become steamy and subject to destruction by wet rot. Cutting off the very top of such a sheath with a sharp knife will allow air to reach the bud and may save it.

The claim that growing orchids 'hard' increases flower growth appears logical if the conditions under which orchids grow in their natural state are considered: the natural environment is 'hard.' It must be remembered, however, that nature controls sunlight in a way difficult to approximate in the greenhouse.

Even in those areas where certain varieties grow in so-called 'full sun/ it will be found that drifting clouds give a protection that is absent under intensely directed light in the greenhouse.

Once the amateur has made the choice between 'soft' and 'hard' methods, the subsequent treatment must be consistent when it comes to orchid care. If much sun is provided, more moisture and air will be required. If the plants are grown with minimum sun they will require less moisture, but an increase in ventilation may be needed to keep the air sweet.

Too great an increase in heat during the winter is a common error of orchid growers. Plants store up energy during the daylight hours and give off or transpire energy at night. Increase in night heat increases transpiration.

Shorter periods of daylight lessen the manufacture of energy. If the plant loses more energy at night than it is able to store during the day, obviously it will suffer. Orchids are very susceptible to shock of any kind, and they take considerable time to recover—if they ever do.

This danger must be borne in mind regarding sunburn, chilling, or energy deficit in orchid care.

There is the further difficulty of each species' having its own light requirements. Quick reference to conditions in the native homes of the species that the amateur is likely to acquire will illustrate the point.

Cattleyas, native to Central and South America, are found hanging on trees in the tropical rain forests. The burning sun of midday is usually kept off the plant by foliage directly overhead.

The grower, guided by this knowledge, lets Cattleyas be exposed to the sun, but provides shade in summer during the warmest part of the day, for sunburn must be avoided when caring for orchids.

The increased exposure to sun necessitates a corresponding increase in humidity to prevent the pseudobulbs from shriveling.

Laelias, showy natives of Mexico and Central America, are found growing on rocks in the open sun. They are closely related to Cattleyas, but require larger amounts of both light and air.

The grower should find a place for them in the sun, right up under the glass. Sudden temperature changes should be avoided.

Among the sun-worshipers are the Vandas, natives of India, the Philippines, and some Pacific islands. They will not thrive without adequate sun, and they must have corresponding amounts of heat and water. Care must be exercised to keep water from remaining in the growing crown.

The evergreen Dendrobiums, native to the Indian Islands, and Oncidiums, from Central and South America, are also sun-worshipers. Phalaenopsis, the lovely white 'bride's orchids' from the Philippines and the Eastern Archipelago, respond well to sun, but must not be overexposed.

A warm, moist atmosphere, with plenty of air, is best for this species. Zygopetalums, found in Brazil, Venezuela, and the Guianas, require moderate exposure to sun.

As a rule orchids from mountainous regions or from the temperate zone need protection from direct sun. Cymbidiums, natives of the Himalayas, require controlled sun and cool conditions with abundant air.

These spray orchids, with their Joseph's-coat range of colors from pink, yellow, green, and brown to the rare pure white, are difficult to grow under glass because they like their 'heads hot and feet cold'; but with careful observation a proper balance can be worked out.

Thursday, March 5, 2009

Anggrek Lereng Selatan Gunung Merapi

Familia Orchidaceae (keluarga anggrek) merupakan kelompok tumbuhan yang jumlah anggotanya paling besar kedua setelah familia Asteraceae. Di dunia ini diperkirakan terdapat ± 20.000 jenis anggrek (Bremer, et al., 1999). Penyebaran anggrek terutama adalah di daerah tropis yang kaya akan hutan tropisnya, terutama untuk jenis jenis anggrek epifit. Indonesia sebagai salah satu negara tropis dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, diperkirakan memiliki kekayaan anggrek sebanyak 5000 jenis yang tersebar di Nusantara. Ini berarti ± ¼ jenis anggrek di dunia berada di Indonesia. Pulau dengan jenis anggrek terbanyak adalah pulau Irian dengan jumlah 2000 jenis (Schuiteman, 1995).

Di Jawa secara keseluruhan terdapat 731 species anggrek yang terdiri dari 130 genera. Jawa tidak memiliki genus / marga anggrek yang endemik, sedangkan Kalimantan memiliki 60 genera, Semenanjung Malaysia 41 genera, dan Sumatera 17 genera. Di Bali hanya terdapat 1 jenis anggrek endemik yaitu Calanthe baliensis J.J.Wood & J.B. Comber. Jenis endemik di Jawa yang sangat terkenal adalah Vanda tricolor Lindl. Walaupun demikian kebanyakan orang tidak menyadari bahwa populasinya di dunia ini hanya terbatas di Jawa dan Bali saja (Whitten, et. al., 1996).

Deskripsi Wilayah Lereng Selatan Merapi

Daerah lereng Selatan Merapi merupakan daerah berbukit dan pegunungan datar. Ada berbagai tipe vegetasi yang melingkupi daerah tersebut, antara lain dataran rumput, semak belukar, dan daerah dengan vegetasi pohon - pohon besar. Beberapa daerah dari vegetasi tersebut masih terkondisikan alami. Struktur vegetasi yang demikian ini merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan anggrek, baik itu anggrek tanah maupun anggrek epifit.

Jenis Anggrek di Lereng Selatan Merapi
Banyak yang belum diketahui tentang keanekaragaman jenis anggrek terutama jenis anggrek species yang ada di sekitar lereng Selatan Merapi. Backer (1968) dan Comber (1990) hanya memberikan sedikit informasi tentang keberadaan anggrek di Gunung Merapi.

Keberadaan anggrek di lereng Selatan Merapi harus diketahui dari segi jenis dan distribusinya. Sehingga usaha konservasi yang lebih mengutamakan pada sumber plasma nutfah anggrek akan lebih mudah. Langkah pertama yang sangat penting adalah dengan koleksi dan identifikasi secara benar.

Eksplorasi Anggrek

Beberapa langkah awal telah dilakukan adalah eksplorasi dan identifikasi anggrek di lereng Selatan Merapi. Sampai saat ini telah ditemukan sekitar 57 jenis anggrek. Kebanyakan anggrek tersebut adalah anggrek epifit (hidup menempel pada pepohonan). Terdapat anggrek yang sangat menarik dan terkenal dari lereng Selatan Merapi yaitu Vanda tricolor Lindl, yang oleh penduduk setempat disebut anggrek pandan. Anggrek yang berbunga putih dengan bercak bercak ungu ini, dulunya sangat banyak dan tumbuh liar di pohon pohon Dadap (Erythrina lithosperma). Tetapi saat ini sangat sulit menjumpai anggrek tersebut di habitat aslinya. Karena anggrek anggrek tersebut telah diambil dari habitatnya untuk dikoleksi atau dijual. Anggrek lain yang juga menarik adalah anggrek kantong, Paphiopedilum javanicum (Reinw. ex Lindl) Pfitz. Anggrek tanah ini tumbuh di antara rumput - rumputan. Tetapi sayang anggrek ini juga sangat sulit dijumpai di habitatnya saat ini.

Terdapat juga anggrek yang nilai komersialnya kurang atau bahkan tidak ada. Biasanya anggrek tersebut adalah anggrek yang bisa dikatakan tidak menarik, karena bunganya kecil, bentuk dan warnanya juga tidak menarik. Anggrek yang demikian disebut sebagai anggrek botanik, yaitu anggrek yang jika dilihat dari sudut ilmu pengetahuan, khususnya taksonomi sangat penting, tetapi secara ekonomis kurang. Beberapa jenis anggrek botanik yang unik yang ditemukan adalah jenis jenis anggrek saprofit yaitu Didymoplexis pallens Griff., Epipogium roseum (D. Don) Lindl., dan Gastrodia crispa J.J.Smith. Anggrek ini mempunyai habitat yang khusus yaitu teduh, lembab, dan kaya akan humus. Ada juga jenis anggrek yang mempunyai siklus hidup sangat unik yaitu Nervilia punctata (Bl.) Makino. Pada fase vegetatif hanya berupa umbi dan daun saja. Kemudian disusul fase generatif dimulai dengan gugurnya dan kemudian muncul bunga dari umbinya. Jadi pada anggrek ini tidak pernah dapat dijumpai bunga dan daun muncul bersama sama.

Konservasi

Idealnya, upaya untuk konservasi adalah dengan membiarkan anggrek-anggrek tersebut tumbuh di habitatnya. Tetapi untuk saat ini upaya tersebut sangatlah tidak mungkin. Sebab aktifitas penduduk sekitar dan para pendatang sangat tinggi. Masyarakat banyak yang mengkoleksi anggrek dan kemudian menjualnya, misalnya di Taman Wisata Kaliurang. Atau kadang mendapat pesanan dari seseorang dari luar kota. Keadaan ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Kadang-kadang mereka mengambil tanpa memperhatikan populasinya. Disamping itu aktifitas Gunung Merapi sendiri yang tidak stabil. Bencana awan panas / wedhus gembel telah merusak sebagian habitat di bagian lereng Selatan bagian Barat.
Saat ini telah dilakukan koleksi dan budidaya anggrek Vanda tricolor Lindl. Usaha ini dilakukan oleh kelompok karang taruna di Dusun Pelemsari, Desa Cangkringan. Pengembangan budidaya anggrek Vanda tricolor Lindl. masih menggunakan cara yang sangat sederhana. Sehingga pengembangannya kurang maksimal. Usaha ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak yang berminat terhadap usaha konservasi.

Diperlukan orang orang yang cukup mengerti terhadap dunia peranggrekan, yaitu para pembudidaya dan ahli taksonomi anggrek. Akhirnya, siapa saja yang mengerti dan benar benar tertarik pada anggrek haruslah berusaha agar bagian dari hidupan liar ini tetap ada selamanya, untuk meyakinkan bahwa generasi mendatang juga masih dapat menikmati keindahannya.

Daftar Jenis Anggrek di Lereng Selatan Merapi :

1. Acriopsis javanica Reinw. ex Bl.
2. Anoectochilus reinwardtii Bl.
3. Appendicula alba Bl.
4. Appendicula pauciflora Bl.
5. Arundina graminifolia (D.Don.) Hochr.
6. Agrostophyllum sp
7. Bulbophyllum absconditum J.J.Sm.
8. Bulbophyllum flavescence (Bl.) Lindl.
9. Bulbophyllum sp
10. Calanthe flava (Bl.) Morren
11. Ceratostylis backeri J.J.Sm.
12. Ceratostylis sp
13. Coelogyne speciosa (Bl.) Lindl.
14. Coelogyne sp
15. Corymborchis veratrifolia (Reinw.) Bl.
16. Cymbidium lancifolium Hook
17. Cymbidium bicolor Lindl.
18. Dendrobium crumenatum Sw.
19. Dendrobium heterocarpum Wall ex Lindl.
20. Dendrobium mutabile (Bl.) Lindl.
21. Dendrobium saggitatum J.J.Sm.
22. Dendrochilum simile Bl.
23. Didymoplexis pallens Griff.
24. Epipogium roseum (D.Don.) Lindl.
25. Eria iridifolia Hook. f.
26. Eria oblitterata (Bl.) Rchb.f.
27. Eria retusa (Bl.) Rchb.f.
28. Eria veruculosa J.J.Sm.
29. Gastrochilus sororius Schltr.
30. Gastrodia crispa J.J.Sm.
31. Goodyera reticulata (Bl.) Bl.
32. Habenaria multipartita Bl. ex Kraenzl.
33. Habenaria loerzingii J.J.Sm.
34. Liparis pallida (Bl.) Lindl.
35. Liparis montana (Bl.) Lindl.
36. Liparis sp
37. Macodes petola (Bl.) Lindl.
38. Malaxis kobi (J.J.Sm.) J.B.Comber
39. Malaxis koodersii J.J.Sm.
40. Malaxis latifolia J.E.Smith
41. Nervillia punctata (Bl.) Makino
42. Oberonia similis (Bl.) Lindl.
43. Paphiopedilum javanicum (Reinw. ex Lindl) Pfitz.
44. Pecteilis susannae (L) Raf.
45. Phaius tankervilliae (Banks ex l’Herit) Bl.
46. Pholidota globosa (Bl.) Lindl.
47. Pholidota ventricosa (Bl.) Rchb.f.
48. Pholidota carnea (Bl.) Lindl.
49. Phreatia plexauroides Rchb.f.
50. Pteroceras teysmanni (Miq.) Holtt.
51. Schoenorchis juncifolia Bl. ex Reinw.
52. Spathoglottis plicata Bl.
53. Spiranthes sinensis (Pers) Ames
54. Thrixspermum acutilobum J.J.Sm.
55. Trichotosia sp
56. Tropidia curculigoides Lindl.
57. Vanda tricolor Lindl.

Referensi :

Backer, C.A., and R.C.B., Van den Brink, 1968, Flora of Java (Spermatophyte Only), Vol III, N.V.P. Noordhoff Groningen, The Netherland
Bremer, K., et al. 1999, Introduction to Phylogeny and Systematic of Flowering Plants, 5th ed, Department of Systematic Botany, Uppsala University, Sweden
Comber, J.B., 1990, Orchids of Java, Bentham Moxon Trust, Royal Botanic Gardens, Kew, England
Schuiteman, A., 1995, Key to the Genera of Orchidaceae of New Guinea, Flora Malesiana Bulletin 11 (6) : 401 - 424
Suryowinoto, M., 1988, Mengenal Anggrek Alam Indonesia, Penebar Swadaya, Jakarta
Whitten, T., R.E., Soeriatmadja, S.A., Afiff, 1996, Ecology of Java and Bali, Periplus Edition (H.K.) Ltd. Singapore

(Sulistyono / Kanopi Indonesia).

Pengaruh Intensitas Cahaya Matahari Terhadap Pertumbuhan Anggrek (ORCHIDACEAE)

Pendahuluan

Tanaman anggrek dalam istilah ilmiahnya disebut Orchidaceae dan memiliki lebih kurang 700 genera yang mencakup sekitar 20.000 species dan bahkan ada yang menduga sampai 35.000 species di Indonesia dilaporkan terdapat kurang lebih 5.000 species Van Steenis cit Sutarni M.S. (19).
Anggrek disukai oleh para penggemarnya karena bunganya yang indah warna warni beraneka ragam dari kuning, hijau, biru, violet, ungu tua, merah cabai, coklat tembaga, merah bata, harumnya bunga dan kerena bunganya tahan lama, untuk anggrek bulan (Phalaenopsis) antara 1 sampai dengan 5 bulan (Ayub S.P., 1984).
Indonesia beriklim tropis, mempunyai ekologi yang istimewa, dari iklim hangat seperti dekat pantai, iklim sedng seperti dikaki gunug, dan iklim sejuk diatas gunung. Dengan demikian sebenarnya Indonesia dapat, menanam segala jenis angggrek dari seluruh dunia, mulai dari iklim tropis sampai dengan iklim sub tropis (Ayub S.P.,1984).
Untuk memperoleh pertumbuhan anggrek yang optimal dan rajin berbunga maka kondisi lingkungan tanaman anggrek haruslah dalam keadaan yang optimum. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan anggrek menurut Moeso Suryowinota (1988) mengemukakan bahwa ada dua faktor yaitu factor makro dan faktor mikro.
Faktor makro meliputi :
  1. Cahaya matahari 
  2. Suhu udara
  3. Kelembaban
  4. Awan
  5. Angin
  6. O2 dan CO2 udara
  7. Pencemaran udara
Dan faktor mikro (faktor edatif) yaitu media tumbuh yang meliputi : unsur hara, tekstur, struktur media, komposisi larutan, dan komposisi udara media terutama O2 dn CO2.
Di dalam makalah ini penulis akan mengemukakan faktor makro cahaya matahari ialah pengaruh intensitas cahaya matahari terhadap pertumbuhan anggrek (Orchidaceae).

Anggrek dan Kebutuhan Cahaya Matahari
Anggrek untuk hidupnya mutlak membutuhkan akan cahaya matahari. Kebutuhan tanaman anggrek terhadap intensits cahaya matahari berbeda-beda tergantung pada jenisnya, ada yang membutuhkan cahaya matahari yang banyak, tetapi ada pula jenis yang membutuhkan hanya sedikit.
Menurut Simon & amp; Schusters (19) mengemukakan bahwa anggrek Dendrobium memerlukan cahaya matahari penuh (full sun) sedang Cattleya labiata, Cymbidium sp., Cypridium calceolus, dan Phalaenopsis sp memerlukan cahaya matahari sebagian di naungi (semishade).
Menurut S.M. latif (1960) mengemukakan bahwa untuk anggrek Arachnis (anggrek laba-laba = kalajengking) dapat tumbuh di tanah dan dalam panas matahari langsung (full sun), untuk di pegunungan tinggi hidupnya cukup baik asal mendapatkan panas matahari. Anggrek Dendrobium hampir semuanya menghendaki udara yang panas dan mendapatkan panas pada siang hari. Anggrek Paphiopedilum habitat aslinya tumbuh berada terlindungi di bawah pohon. Anggrek Phalaenopsis semua jenisnya menyukai terang. Dan anggrek Vanda ditanam pada tempat panas.
Menurut Yos Sutiyono (19) mengemukakan bahwa anggrek Cattleya, Oncidium, Vanda pada umumnya hidup ditempat yang ternaungi. Sebaiknya anggrek Vanda terete (Vanda pensil), Arachnis, Aranda, Renanthera, Renanthanda, dan Aeridachnis memerlukan cahaya matahari dalam jumlah yang lebih banyak.
Menurut Sugeng Sri Lestari (1985) mengemukakan bahwa anggrek Phalaenopsis membutuhkan banyak sinar matahari tetapi memerlukan juga peredah yang agak lembab, terutama ia hanya memerlukan sedikit saja sinar yang secara langsung mengenainya. Anggrek Cattleya menyukai sinar matahari yang cerah, tetapi tidak dapat menerima sepenuhnya sinar matahari, maksimum 60 % dapat menerima sinar matahari pada tanaman dewasa. Dan anggrek Vanda teres ditanam ditanah pada tempat yang terkena sinar matahari penuh dan juga tahan sengatan matahari.
Menurut Susiani Purbaningsih (1988) mengemukakan bahwa anggrek komunitas pot (pembibitan) tidak terkena cahaya matahari secara langsung dan kebutuhannya berkisar antara 800-1.500 f.c.
Menurut Moeso Suryowinoto (1988) mengemukakan bahwa kebutuhan jenis anggrek terhadap sinar matahari berbeda-beda tergantung jenisnya :
Jenis anggrek Intensitas cahaya
  • Paphiopedilum 10 – 15 % 
  • Aerides 15 – 30 %
  • Vanda 20 - 30 %
  • Phalaenopsis 10 – 40 %
  • Cattlleya 20 – 40 %
  • Dendrobium 50 – 65 %
  • Oncidium 60 - 75 %
Dan secara garis besar dibedakan kreteria penyinaran cahaya matahari kedalam empat kelompok :
  1. Sinar kuat, berarti sinar matahari penuh atau 100 % tidak ada penghalang / peneduh, ini ada di daerah tropis. 
  2. Agak teduh, intensitas sinar matahari 50 – 100 %. Adanya peneduh, kalau berupa tirai adalah masih ada antara untuk masuknya cahaya yang cukup.Peneduh yang berupa pohon biasanya pohon yang mempunyai daun majemuk yang tips seperti : Flamboyan, sengon, petai, petai cina, asam, pinus dan lain-lain.
  3. Setengah teduh, intensitas cahaya yang menjadikan keadaan setengah teduh menggambarkan kondisi cahaya matahari yang masuk sebesar 50 %. Biasanya digunakan tirai kain, plastik bening disemprot cat putih susu, dapat pula dipakai tirai bambu.
  4. Teduh sekali, suatu keadaan dimana sinar matahari tidak diterima langsung oleh tanaman, tetapi sinar diperoleh dari difrasi / pemancaran diffuse. Disini intesitas cahaya matahari besarnya kurang dari 5 %.
Berdasarkan ekologinya terhadap penerimmaan cahaya, tanaman diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Heliofit, yaitu tanaman yang tumbuh baik jika kena cahaya matahari penuh. 
  2. Skiofit, yaitu tanaman yang tumbuh baik di intensitas cahaya yang lebih rendah.
Dengan demikian tanaman anggrek termasuk golongan heliofit sekaligus skioit tergantung jenis anggreknya. Skiofit berbeda dengan helioffit dalam kemampuannya untuk menambah kadar klorofil pada intensitas cahaya yang rendah. Skiofit kemungkinan tidak dapat membentuk klorofil dengan cepat, jika tanaman tersebut terkena cahaya matahari penuh. Cahaya yang terus menerus akan merusak klorofil (Daubenmire, 1959), sehingga akan menghalangi fotosistesis (Bjorkman, 1968); Holmgren, 1968, sit Leopold & Kriedemann, 1975).
Umumnya intensitas cahaya itubervariasi tiap harinya (Edmond et al, 1957). Selain itu kebutuhan intensitas cahaya berbeda-beda pada setiap species (Weaver & Clements, 1966).

Pertumbuhan Anggrek dan Intensitas Cahaya Matahari
Cahaya matahari merupakan sumber utama energi bagi kehidupan, tanpa adanya cahaya matahari kehidupan tidak akan ada (Pearse, 1939 set Wilsie, 1962).
Bagi pertumbuhan tanaman ternyata pengaruh cahaya selain ditentukan oleh kualitasnya ternyata ditentukan intensitasnya (Hari Suseno, 1976).
Intensitas cahaya berpengaruh nyata terhadap sifat morfologi tanaman. Tanaman yang mendapatkan cahaya matahari dengan intensitas yang tinggi menyebabkan lilit batang tumbuh lebih cepat, susunan pembuluh kayu lebih sempurna, internodianya lebih pendek, daun lebih tebal, tetapi ukurannya lebih kecil dibanding dengan tanaman yang terlindung (Wilsie, 1962). Beberapa effek dari cahaya matahari yang penuh (yang melebihi) kebutuhan optimum dapat menyebabkan layu, fotosistesi lambat, laju respirasi meningkat tetapi cenderung mempertinggi daya tahan tanaman.
Intensitas cahaya yang tinggi di daerah tropis tidak seluruhnya dapat digunakan oleh tanaman (Curtis & Clark, 1950, Suseno, 1974). Energi cahaya matahari yang digunakan oleh tanaman dalam proses fotosintesis berkisar antar 0,5 – 2,0 % dari jumlah total energi yang tersedia. Sehingga hasil fotosintesis berkurang apabila intensitas cahaya kurang dari batas optimum yang dibutuhkan oleh tanaman, yang tergantung pada jenis tanaman (Leopold & Kriedemann, 1975) hal ini juga berlaku terhadap jenis-jenis anggrek.
Pemberian naungan pada tanaman baik secara alami & buatan, akan berarti mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman tersebut, hal ini akan mempengruhi pertumbuhan maupun hasil tanaman (Daubenmire, 1962).
Tanaman yang kurang mendapatkan cahaya matahari akan mempunyai akar yang pendek, hal ini diperkuat oleh pendapat Shirley sit Wilsie (1962) bahwa cahaya matahari penuh menghasilkan akar lebih panjang dan lebih bercabang. Begitu juga diperkuat oleh Yos Sutiyoso (19) menyatakan bahwa tanaman anggrek yang cukup sinar matahari perakaran akan berkembang lebih baik, jumlah akar akan banyak, ukurannya besar dan banyak bercabang. Akar keluarnya lebih awal, jadi tidak seberapa jauh dari puncak tanaman jenis anggrek monopodial seperti Vanda, Arachnis.
Bila cahaya matahari kurang, karena tanaman anggrek berada dalam keadaan terlalu teduh, maka proses assimilasi akan berkurang, sehingga hidratarang sebagai hasil proses tersebut juga kurang jumlahnya.
Hidratrang ini akan dinagkut melelui pembuluh tapis dan diakar di respirasi untuk menghasilkan energi. Bila tanaman kurang dapat menghasilkan hidratarang maka energipun hanya dihasilkan sedikit saja, sedangkan energi perlu untuk akar menyerap air berikut zat hara dan mendorong ke bagian tanaman lainnya.
Dalam keteduhan sel dibentuk oleh tanaman anggrek adalah sel yang besar, tetapi gembos, karena encernya protoplasma didalam sel tanamannya. Tanaman akan panjang ruas-ruasnya (karena beretilasi) karena tanaman ingin mengejar matahari dengan cepat, tanaman anggrek terlihat pucat, lemah. Tanaman akan lebih mudah menguapkan air karena kutikula/lapisan lilin pada permukaan daun sangat tipis (Yos Sutiyoso, 19)
Menurut Smit (1975) mengemukakan bahwa pengaruh morfogenik paling umum dari pertumbuhan dalam kegelapan (intensitas cahaya sangat rendah) adalah pertumbuhan ruas (internodia) menjadi sangat lambat dan perkembangan daun menjadi tertekan secara lemah dan pucat (etiolasi).
Menurut Yos Sutiyoso (19) bahwa cahaya matahari dengan assimilasinya akan menyebabkan hidrat arang pada suatu waktu mencapai nilai ambang yang merupakan rangasan untuk tanaman anggrek berbunga. Dengan keteduhan yang berlebihan, maka nilai ambang ini tidak akan tercapai, sehingga bungapun tidak dihasilkan. Banyak pemilik tanaman anggrek mengeluh bahwa tanamannya telah dipelihara bertahun-tahun dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak menghasilkan bunga dengan memuaskan.
Disamping itu intrensitas cahaya matahari mempengaruhi kualitas bunga. Intensitas cahaya kurang warna bunganya tidak secerah bunga yang cukup cahaya matahari. Tekstur/ketebalan bunga tidak seberapa sehingga bunga mudah sekali layu dan cepat gugur (Yos Sutiyoso, 19).
Menurut Williams et al, (1976) mengemukakan bahwa pengurangan sinar dari suatu tanaman yang telah optimal sinarnya, suhunya dan kelembabbannya akan menyebabkan pengurangan pertumbuhan akar dan tanaman menunjukkan gejala etiolasi.
Daniel et al, (1979) menerangkan bahwa proses fotosintesis, cahaya berpengaruh melalui intensitas, kualitas dan lamanya penyinaran, tetapi yang terpenting adalah intensitasnya. Hal ini didukung oleh Soekkotjo (1977) menerangkan bahwa intensitas cahaya berpengaruh terhadap pembesaran dan differensiasi sel.
Sehubungan dengan laju fotosisntesi, intensitas cahaya yang semakin tinggi (naik) mengakibatkan lalu fotosisntesis semakin tidak bertambah lagi walaupun intensitas cahaya terus bertambah. Batas ini disebut titik saturasi cahaya atau titik jenuh cahaya (ligh saturation point). Pada keadaan ini cahaya bukan sebagai sumber energi maupun sebagai bentuk, tetapi sebagai perusak (foto destruktif).
Intensitas cahaya yang tinggi mengakibatkan temperatur daun meningkat, sebagai akibat menutupnya stomata, sehingga sebagaian klorofil menjadi pecah dan rusak (fotodestruktif).
Menurut Kramerdan Kozlowski (1979) menerangkan bahwa laju fotosintesis tersebut diakibatkan oleh meningkatnya temperatur daun yang mengakibatkan penutupan stomata dan rusaknya klorofil, sehingga konsentrasi klorofil berkurang.
Sedangkan pada intensitas cahaya yang semakin menurun sampai batas tertentu jumlah O2 yang dikeluarkan oleh proses fotosintesis sama dengan jumlah O2 yang diperlukan oleh proses respirasi. Batas ini disebut titik kompensasi cahaya (light compensation point).
Oleh karena itu setiap jenis tanaman dan juga setiap jenis anggrek mempunyai batas titik kompensasi cahaya dan titik satura si cahaya yang tidak sama.
Tanaman anggrek yang menerima cahaya diatas intensitas cahaya yang optimal daunnya menunjukkan lebih tebal dengan jumlah klorofil lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Kramer dan Kozlowneski (1979) bahwa kandungan klorofil tanaman di bawah naungan lebih besar per satuan berat kering dibandingkan dengan tanaman yang terbuka, mampunyai daun yang lebih tebal, sehingga volumenya lebih besar per satuan luas.
Tanaman anggrek yang menerima intensitas cahaya yang semakin tinggi diduga jumlah daunnya semakin sedikit, hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh M. Mochtar Effendy (1987) bahwa intensitas cahaya berpengaruhnyata terhadp jumlah daun bibit Shreaacuminatissima dan Shorea leprosula. Intensitas cahaya yang semakin tinggi menunjukkan semakin kecil jumlah daunnya. Pertambahan jumlah daun semai maksimum dicapai pada intensitas kira-kira 50 % terhadap cahaya penuh. Dan menunjukkan bahwa jumlah klorofil daun mempunyai kecenderungan untuk
menurun dengan menaiknya intenssitas cahaya.
Jumlah klorofil daun erat hubungannya dengan proses fotosisntesis, sebab secara langsung akan mempengaruhi laju fotosintesiss. Laju fotosintesis menunjukkan kenaiikan dengan naiknya intensitas cahaya (Williams dan Yoseph, 1976), tetapi laju fotosintesis akan menurun setelah melewati titik saturasi cahaya.

Kesimpulan
 
Dari tinjauan pustaka tersebut diatas dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Setiap jenis anggrek membutuhkan intensitas cahaya matahari yang berbeda-beda.
2. Pertumbuhan tanaman anggrek yang optimal, salah satu faktornya adalah apabila diberikan kebutuhan intensitas cahaya mahatari secara optimal.
3. Intensitas cahaya matahari yang melebihi kebutuhan optimal tanaman anggrek, menyebabkan pertumbuhannya terhambat, ukuran daun lebih kecil, klorofil daun akan menjadi rusak, kemudian daun menjadi kekuningan = klorosis, dan meningkat daun menunjukkan gejala terbakar.
4. Intensitas cahaya matahari yang lebih rendah dari kebutuhan optimal tanaman anggrek akan menunjukkan bahwa daunnya tidak tebal, lebih hijau daunnya, peerakarannya berkurang, ruas-ruasnya lebih panjang (gejala etiolasi), bunganya berukang dan warna bunganya tidak cerah.

Daftar Pustaka
 
Daniel, T.W., J.W. Helm & F.S. Baker, 1979. Principles of silvicultur, 2 nd. Mc.Grow Hill Inc. New York.
Daubenmire, R.I., 1962. Plant and environment. A. texbook of plant ecology. Sec. ed. New York. John Willey and Sons Inc. London. pp 10 – 70.
Cutis, O.F., and D.G. Clark. 1950. An introduction to plant physiology Mc. Graw Hill Book Company Inc. New York Taronto London. pp. 214 – 248.
Kmamer, P.J. and T.T. Kozlowski, 1979. Psysoloogy of woody plant Academic Press. New York.
Latif, S.M. 1960. Bunga anggrek permata Belanda Indonesia. Sumur Bandung. pp 445.
Leopold, A.C. and P.E. Kriedemann, 1975. Plant growth and development The Dynamic of growth Sec. ed. pp. 75 – 105.
Madjo Indo, A.B.D., 1983. Kamus anggrek asing Indonesia. Ciawi Bogor pp. 223. Purbaningsih, S. 1988. pengeluaran bibit anggrek dari dalam botol. Lab. Budidaya jaringan Penelitian dan Pengembangan Anggrek Fak. Biologi. UGM. Yogyakarta. pp 9.
Simon & Schusters, 19. Complete guide to plant and flowers A. Fire side Book Published. Inc. New York. pp 522 (515-522).
Smith, H. & H.J. Weidelt. 1975. Phytochrom and photomorphogenesis and intreduction to the photocontrol of plant development MC. Graw Hill Book Co. London.
Sri Lestari, S. 1985. Mengenal dan bertanam anggrek. C.V. Aneka Ilmu. Semarang. pp. 124.
Soekotjo, W., 1975. Silvikultur khusus. Akademi Ilmu Kehutanan (AIK). Bandung.
Suryowinoto, S.M., 19. Sejarah Peranggrekan. Perhimpunan Anggrek Indonesia Cabang Yogyakarta dan Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. pp. 4.
Suryowinoto, M. 1988. Budidaya Tanaman Anggrek. Lab. Budidaya Jaringan. Penelitian dan Pengembangan Anggrek. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. pp. 22.
Sutiyoso, Yos., 19. Pedoman Menanam Anggrek. P.D. Putra Kencana. Jakarta. Pp. 23.
Weaver, J.E. and F.E. Clements. 1966. Plant Ecologi. Sc. Ed. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company Ltd. New Delhi. pp 380-385.
Williams, C.N. and K.T. Joseph. 1976. Climate, soil and crop production in the humid tropes. Oxford University Press. Kuala Lumpur. pp. 177.
Wilsie, C.P., 1962. Crop adaptation and distribution. Iowa state Univ. Diterjemahkan oleh Bintoro, M.H. dan Wiroatmodjo. 1978. Adaptasi dan distribusi tanaman pertanian. Faktor-faktor lingkungan. Dep. Agronomi Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. pp. 234.

Wednesday, March 4, 2009

Selamatkan Anggrek Spesies

Ada 5000 jenis anggrek di alam, dan 29 jenis anggrek spesies Indonesia yang telah dilindungi oleh pemerintah (termasuk anggrek hitam). Usaha budidaya anggrek tidak kalah pentingnya dengan terjadinya longsor, banjir, kelaparan dan lain-lain.

Indonesia termasuk 10 negara Megadiversity, dengan memiliki 90 tipe ekosistem yaitu ekosistem perairan laut dalam, terumbu karang, padang lamun, mangrove, pesisir pantai dan muara, lahan basah (sungai, rawa, danau, gambut), hutan pantai, padang rumput, savana, pertanian, hutan hujan daratan rendah, pegunungan, sampai ke ekosistem alpin di Puncak Jayawijaya, menurut Anida Haryatmo dari Yayasan Kehati dalam acara Diskusi Panel Selamatkan Anggrek Spesies Indonesia.

Masalah Anggrek di Indonesia :
  1. Hilangnya anggrek alam (anggrek spesies) karena rusaknya ekosistem (konversi alam, penebangan hutan, kebakaran hutan) dan pengambilan tanpa batas dari alam (tingginya minat terhadap anggrek asli).
  2. Ekspor anggrek alam secara illegal.
  3. Perlu perbaikan dalam praktek Implementasi CITES (untuk jenis anggrek yang termasuk dalam appendix II CITES, tapi otoritas melarang seluruh ekspor anggrek non hibrida).
  4. Walau memiliki plasma nutfah anggrek yang besar, namun penelitian dan pengembangan belum mencukupi mendukung tersedianya bibit baru dan budidaya yang bisa berkompetisi.
  5. Budidaya anggrek asli Indonesia oleh negeri luar. Benefit sharing bagi masyarakat tidak ada.
  6. Tingginya anggrek hibrida (silangan) dari luar negeri yang masuk.
Negara kurang waspada dengan apa yang kita miliki, maka kurang menyelamatkan apa yang seharusnya menjadi devisa di negara ini, kata Rahmat Witoelar, Menteri Lingkungan Hidup, sebagai Keytone Speaker Diskusi Panel "Selamatkan Anggrek Spesies Indonesia" tanggal 14 Pebruari 2006 di Taman Anggrek Indonesia Permai, TMII.

Kerusakan habitat dan pemanfaatan (termasuk perdagangan) yang tidak terkendali, penyebab utama bahaya kepunahan spesies. Kerusakan habitat disebabkan oleh pembukaan hutan untuk kepentingan konversi bagi pemanfaatan lahan, dengan tidak memperhitungkan Keanekaragaman Hayati.

Kondisi kerusakan habitat diperparah dengan maraknya illegal logging yang telah merambah ke dalam kawasan-kawasan konservasi, dan kejadian kebakaran hutan yang berlangsung setiap tahun dengan luasan yang sangat besar, mengancam keanekaragaman hayati Indonesia sangat terancam.

Illegal logging dapat menyangkut harkat hidup orang banyak, termasuk dalam kaidah/hukum Pembangunan Berkelanjutan. Ada tiga pilar Pembangunan Berkelanjutan yang saling berkaitan yaitu Environmental Sustainability, Economic Sustainability dan Social Sustainability. Lingkungan sebagai dasar titik tolak dan merupakan pondasi dari semua pembangunan lain.

Menurut Rahmat Witoelar, dalam menyelamatkan spesies ini perlu dilibatkan Menteri Pariwisata dan Menteri Kehutanan. Menteri Lingkungan hidup sebagai vokal point, yaitu sebagai jembatan karena secara optimal menteri-menteri tersebut yang dapat melakukan kegiatan ini.

Departemen Kehutanan telah melakukan konservasi pada Insitu (termasuk Taman Nasional, Suaka Alam, Taman Wisata Alam) dan Eksitu (termasuk penangkaran dan perbanyakan), menurut Kris Heriyanto, dari Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan.

Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan beserta aparat terkait harus memperhatikan habitat anggrek, supaya anggrek bisa lestari. Himbauan untuk menteri Kehutanan, kata Rahmat Witoelar, tolong dijaga anggrek ini demi biodiversity bukan demi illegal loggingnya karena Indonesia sebagai Champion of Biodiversity. Kantor Menteri lingkungan Hidup akan membantu proses pendaftaran spesies khusus Indonesia ke Kekayaan Intelektual

Punahnya Anggrek

Anggrek merupakan tumbuhan yang aslinya hidup di hutan. Namun, bukan hal yang mudah mencegah kerusakan hutan di Indonesia. Dan kondisi saat ini yang terjadi, dari 820 jenis Anggrek asli Indonesia yang hidup di hutan pulau Sumatera kini tinggal 400an saja. Hingga, patut dipertanyakan upaya konservasi alam yang nampaknya harapan semakin jauh dari kenyataan yang ada. Kenapa? salah seorang peneliti senior dari Universitas Leiden Belanda mengatakan, dalam tiga tahun mendatang jenis anggrek asli Sumatera diperkirakan akan punah dari habitatnya. Apalagi kalau kita melihat laporan World Bank, yang memperkirakan di tahun 2005 hutan di Sumatera akan punah. Padahal, anggrek asli itu aslinya tumbuh dan hidup dihutan. Jadi, bisa dibayangkan kalau hutannya sendiri hilang. Demikian penjelasan Dr. EF Ed de Vogel dari national Herbarium Netherland setelah selasai menjadi pembicara Ceramah Ilmiah Anggrek di kebun Raya Bogor, Bogor.

Anggrek yang hilang itu berada di hutan dataran rendah. Mulai dari permukaan laut sampai dengan ketinggian 1.000 meter. Dan anggrek itu diantaranya berasal dari kelompok Paphiopedilum. Lebih lanjut dijelaskan, kejadian yang menimpa pulau Sumatera ini, khususnya di hutan Sumatera merupakan sebuah peristiwa buruk bagi upaya konservasi anggrek di Indonesia. ‘Peristiwa di pulau Sumatera ini merupakan hal buruk’ bagi Indonesia. Hal ini dapat dimengerti karena pulau Sumatera merupakan peringkat ke tiga setelah Irian Jaya dan Kalimantan dalam menyumbang keanekaragaman anggrek di Indonesia. Dijelaskan oleh Dr. Irawati, Kepala Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI bahwa pada tahun 1981, jumlah anggrek yang ada di Sumatera sekitar 820 jenis. Kini, tinggal 400an saja.

Menurut Vogel, upaya rehabilitasi anggrek bukanlah hal yang mudah dilakukan. Perlu waktu setidaknya 25 tahun untuk dapat menumbuhkan anggrek yang ada di hutan. Tapi, kemungkinan ini sangat kecil untuk bisa mendapatkan anggrek yang sama seperti sebelumnya meskipun setelah 25 tahun.

Menurut Irawati, salah satu penyebab hilangnya anggrek adalah penjualan yang dilakukan secara ilegal. Terutama bagi anggrek yang bernilai ekonomis, seperti : anggrek bulan dan kantung. Umumnya anggrek-anggrek itu di jual ke Eropa dan Amerika Serikat yang diambil dari hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.

Saat ini dari keluarga anggrek yang berada di dunia, sekitar 40% berada di kawasan Malaysia dan Indonesia. Sedang 28% berada di kawasan Indoaustralia. Lebih lanjut dijelaskan, beberapa jenis anggrek endemik yang berasal dari keluarga utama ada di Indonesia. Diantaranya keluarga Paphiopedilum 84 jenis, phalaenopsis 81 jenis, paraphalaenopsis 4 jenis dan Cymbidum sebanyak 32 jenis.
Lagi, lagi Indonesia dihadapkan pada kondisi yang dilematis. Punahnya hutan di Indonesia menjadi punahnya pula tumbuhan dan hewan yang berada di sana. Dan, bila dibiarkan berlanjut cerita indah tentang keanekaragaman kekayaan bangsa ini tinggal kenangan. Dan, siapapun diantara kita tak ingin hal itu berlanjut. Jadi, sadarilah Indonesiaku, untuk tidak diam terpaku