Thursday, March 5, 2009

Pengaruh Intensitas Cahaya Matahari Terhadap Pertumbuhan Anggrek (ORCHIDACEAE)

Pendahuluan

Tanaman anggrek dalam istilah ilmiahnya disebut Orchidaceae dan memiliki lebih kurang 700 genera yang mencakup sekitar 20.000 species dan bahkan ada yang menduga sampai 35.000 species di Indonesia dilaporkan terdapat kurang lebih 5.000 species Van Steenis cit Sutarni M.S. (19).
Anggrek disukai oleh para penggemarnya karena bunganya yang indah warna warni beraneka ragam dari kuning, hijau, biru, violet, ungu tua, merah cabai, coklat tembaga, merah bata, harumnya bunga dan kerena bunganya tahan lama, untuk anggrek bulan (Phalaenopsis) antara 1 sampai dengan 5 bulan (Ayub S.P., 1984).
Indonesia beriklim tropis, mempunyai ekologi yang istimewa, dari iklim hangat seperti dekat pantai, iklim sedng seperti dikaki gunug, dan iklim sejuk diatas gunung. Dengan demikian sebenarnya Indonesia dapat, menanam segala jenis angggrek dari seluruh dunia, mulai dari iklim tropis sampai dengan iklim sub tropis (Ayub S.P.,1984).
Untuk memperoleh pertumbuhan anggrek yang optimal dan rajin berbunga maka kondisi lingkungan tanaman anggrek haruslah dalam keadaan yang optimum. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan anggrek menurut Moeso Suryowinota (1988) mengemukakan bahwa ada dua faktor yaitu factor makro dan faktor mikro.
Faktor makro meliputi :
  1. Cahaya matahari 
  2. Suhu udara
  3. Kelembaban
  4. Awan
  5. Angin
  6. O2 dan CO2 udara
  7. Pencemaran udara
Dan faktor mikro (faktor edatif) yaitu media tumbuh yang meliputi : unsur hara, tekstur, struktur media, komposisi larutan, dan komposisi udara media terutama O2 dn CO2.
Di dalam makalah ini penulis akan mengemukakan faktor makro cahaya matahari ialah pengaruh intensitas cahaya matahari terhadap pertumbuhan anggrek (Orchidaceae).

Anggrek dan Kebutuhan Cahaya Matahari
Anggrek untuk hidupnya mutlak membutuhkan akan cahaya matahari. Kebutuhan tanaman anggrek terhadap intensits cahaya matahari berbeda-beda tergantung pada jenisnya, ada yang membutuhkan cahaya matahari yang banyak, tetapi ada pula jenis yang membutuhkan hanya sedikit.
Menurut Simon & amp; Schusters (19) mengemukakan bahwa anggrek Dendrobium memerlukan cahaya matahari penuh (full sun) sedang Cattleya labiata, Cymbidium sp., Cypridium calceolus, dan Phalaenopsis sp memerlukan cahaya matahari sebagian di naungi (semishade).
Menurut S.M. latif (1960) mengemukakan bahwa untuk anggrek Arachnis (anggrek laba-laba = kalajengking) dapat tumbuh di tanah dan dalam panas matahari langsung (full sun), untuk di pegunungan tinggi hidupnya cukup baik asal mendapatkan panas matahari. Anggrek Dendrobium hampir semuanya menghendaki udara yang panas dan mendapatkan panas pada siang hari. Anggrek Paphiopedilum habitat aslinya tumbuh berada terlindungi di bawah pohon. Anggrek Phalaenopsis semua jenisnya menyukai terang. Dan anggrek Vanda ditanam pada tempat panas.
Menurut Yos Sutiyono (19) mengemukakan bahwa anggrek Cattleya, Oncidium, Vanda pada umumnya hidup ditempat yang ternaungi. Sebaiknya anggrek Vanda terete (Vanda pensil), Arachnis, Aranda, Renanthera, Renanthanda, dan Aeridachnis memerlukan cahaya matahari dalam jumlah yang lebih banyak.
Menurut Sugeng Sri Lestari (1985) mengemukakan bahwa anggrek Phalaenopsis membutuhkan banyak sinar matahari tetapi memerlukan juga peredah yang agak lembab, terutama ia hanya memerlukan sedikit saja sinar yang secara langsung mengenainya. Anggrek Cattleya menyukai sinar matahari yang cerah, tetapi tidak dapat menerima sepenuhnya sinar matahari, maksimum 60 % dapat menerima sinar matahari pada tanaman dewasa. Dan anggrek Vanda teres ditanam ditanah pada tempat yang terkena sinar matahari penuh dan juga tahan sengatan matahari.
Menurut Susiani Purbaningsih (1988) mengemukakan bahwa anggrek komunitas pot (pembibitan) tidak terkena cahaya matahari secara langsung dan kebutuhannya berkisar antara 800-1.500 f.c.
Menurut Moeso Suryowinoto (1988) mengemukakan bahwa kebutuhan jenis anggrek terhadap sinar matahari berbeda-beda tergantung jenisnya :
Jenis anggrek Intensitas cahaya
  • Paphiopedilum 10 – 15 % 
  • Aerides 15 – 30 %
  • Vanda 20 - 30 %
  • Phalaenopsis 10 – 40 %
  • Cattlleya 20 – 40 %
  • Dendrobium 50 – 65 %
  • Oncidium 60 - 75 %
Dan secara garis besar dibedakan kreteria penyinaran cahaya matahari kedalam empat kelompok :
  1. Sinar kuat, berarti sinar matahari penuh atau 100 % tidak ada penghalang / peneduh, ini ada di daerah tropis. 
  2. Agak teduh, intensitas sinar matahari 50 – 100 %. Adanya peneduh, kalau berupa tirai adalah masih ada antara untuk masuknya cahaya yang cukup.Peneduh yang berupa pohon biasanya pohon yang mempunyai daun majemuk yang tips seperti : Flamboyan, sengon, petai, petai cina, asam, pinus dan lain-lain.
  3. Setengah teduh, intensitas cahaya yang menjadikan keadaan setengah teduh menggambarkan kondisi cahaya matahari yang masuk sebesar 50 %. Biasanya digunakan tirai kain, plastik bening disemprot cat putih susu, dapat pula dipakai tirai bambu.
  4. Teduh sekali, suatu keadaan dimana sinar matahari tidak diterima langsung oleh tanaman, tetapi sinar diperoleh dari difrasi / pemancaran diffuse. Disini intesitas cahaya matahari besarnya kurang dari 5 %.
Berdasarkan ekologinya terhadap penerimmaan cahaya, tanaman diklasifikasikan sebagai berikut:
  1. Heliofit, yaitu tanaman yang tumbuh baik jika kena cahaya matahari penuh. 
  2. Skiofit, yaitu tanaman yang tumbuh baik di intensitas cahaya yang lebih rendah.
Dengan demikian tanaman anggrek termasuk golongan heliofit sekaligus skioit tergantung jenis anggreknya. Skiofit berbeda dengan helioffit dalam kemampuannya untuk menambah kadar klorofil pada intensitas cahaya yang rendah. Skiofit kemungkinan tidak dapat membentuk klorofil dengan cepat, jika tanaman tersebut terkena cahaya matahari penuh. Cahaya yang terus menerus akan merusak klorofil (Daubenmire, 1959), sehingga akan menghalangi fotosistesis (Bjorkman, 1968); Holmgren, 1968, sit Leopold & Kriedemann, 1975).
Umumnya intensitas cahaya itubervariasi tiap harinya (Edmond et al, 1957). Selain itu kebutuhan intensitas cahaya berbeda-beda pada setiap species (Weaver & Clements, 1966).

Pertumbuhan Anggrek dan Intensitas Cahaya Matahari
Cahaya matahari merupakan sumber utama energi bagi kehidupan, tanpa adanya cahaya matahari kehidupan tidak akan ada (Pearse, 1939 set Wilsie, 1962).
Bagi pertumbuhan tanaman ternyata pengaruh cahaya selain ditentukan oleh kualitasnya ternyata ditentukan intensitasnya (Hari Suseno, 1976).
Intensitas cahaya berpengaruh nyata terhadap sifat morfologi tanaman. Tanaman yang mendapatkan cahaya matahari dengan intensitas yang tinggi menyebabkan lilit batang tumbuh lebih cepat, susunan pembuluh kayu lebih sempurna, internodianya lebih pendek, daun lebih tebal, tetapi ukurannya lebih kecil dibanding dengan tanaman yang terlindung (Wilsie, 1962). Beberapa effek dari cahaya matahari yang penuh (yang melebihi) kebutuhan optimum dapat menyebabkan layu, fotosistesi lambat, laju respirasi meningkat tetapi cenderung mempertinggi daya tahan tanaman.
Intensitas cahaya yang tinggi di daerah tropis tidak seluruhnya dapat digunakan oleh tanaman (Curtis & Clark, 1950, Suseno, 1974). Energi cahaya matahari yang digunakan oleh tanaman dalam proses fotosintesis berkisar antar 0,5 – 2,0 % dari jumlah total energi yang tersedia. Sehingga hasil fotosintesis berkurang apabila intensitas cahaya kurang dari batas optimum yang dibutuhkan oleh tanaman, yang tergantung pada jenis tanaman (Leopold & Kriedemann, 1975) hal ini juga berlaku terhadap jenis-jenis anggrek.
Pemberian naungan pada tanaman baik secara alami & buatan, akan berarti mengurangi intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman tersebut, hal ini akan mempengruhi pertumbuhan maupun hasil tanaman (Daubenmire, 1962).
Tanaman yang kurang mendapatkan cahaya matahari akan mempunyai akar yang pendek, hal ini diperkuat oleh pendapat Shirley sit Wilsie (1962) bahwa cahaya matahari penuh menghasilkan akar lebih panjang dan lebih bercabang. Begitu juga diperkuat oleh Yos Sutiyoso (19) menyatakan bahwa tanaman anggrek yang cukup sinar matahari perakaran akan berkembang lebih baik, jumlah akar akan banyak, ukurannya besar dan banyak bercabang. Akar keluarnya lebih awal, jadi tidak seberapa jauh dari puncak tanaman jenis anggrek monopodial seperti Vanda, Arachnis.
Bila cahaya matahari kurang, karena tanaman anggrek berada dalam keadaan terlalu teduh, maka proses assimilasi akan berkurang, sehingga hidratarang sebagai hasil proses tersebut juga kurang jumlahnya.
Hidratrang ini akan dinagkut melelui pembuluh tapis dan diakar di respirasi untuk menghasilkan energi. Bila tanaman kurang dapat menghasilkan hidratarang maka energipun hanya dihasilkan sedikit saja, sedangkan energi perlu untuk akar menyerap air berikut zat hara dan mendorong ke bagian tanaman lainnya.
Dalam keteduhan sel dibentuk oleh tanaman anggrek adalah sel yang besar, tetapi gembos, karena encernya protoplasma didalam sel tanamannya. Tanaman akan panjang ruas-ruasnya (karena beretilasi) karena tanaman ingin mengejar matahari dengan cepat, tanaman anggrek terlihat pucat, lemah. Tanaman akan lebih mudah menguapkan air karena kutikula/lapisan lilin pada permukaan daun sangat tipis (Yos Sutiyoso, 19)
Menurut Smit (1975) mengemukakan bahwa pengaruh morfogenik paling umum dari pertumbuhan dalam kegelapan (intensitas cahaya sangat rendah) adalah pertumbuhan ruas (internodia) menjadi sangat lambat dan perkembangan daun menjadi tertekan secara lemah dan pucat (etiolasi).
Menurut Yos Sutiyoso (19) bahwa cahaya matahari dengan assimilasinya akan menyebabkan hidrat arang pada suatu waktu mencapai nilai ambang yang merupakan rangasan untuk tanaman anggrek berbunga. Dengan keteduhan yang berlebihan, maka nilai ambang ini tidak akan tercapai, sehingga bungapun tidak dihasilkan. Banyak pemilik tanaman anggrek mengeluh bahwa tanamannya telah dipelihara bertahun-tahun dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak menghasilkan bunga dengan memuaskan.
Disamping itu intrensitas cahaya matahari mempengaruhi kualitas bunga. Intensitas cahaya kurang warna bunganya tidak secerah bunga yang cukup cahaya matahari. Tekstur/ketebalan bunga tidak seberapa sehingga bunga mudah sekali layu dan cepat gugur (Yos Sutiyoso, 19).
Menurut Williams et al, (1976) mengemukakan bahwa pengurangan sinar dari suatu tanaman yang telah optimal sinarnya, suhunya dan kelembabbannya akan menyebabkan pengurangan pertumbuhan akar dan tanaman menunjukkan gejala etiolasi.
Daniel et al, (1979) menerangkan bahwa proses fotosintesis, cahaya berpengaruh melalui intensitas, kualitas dan lamanya penyinaran, tetapi yang terpenting adalah intensitasnya. Hal ini didukung oleh Soekkotjo (1977) menerangkan bahwa intensitas cahaya berpengaruh terhadap pembesaran dan differensiasi sel.
Sehubungan dengan laju fotosisntesi, intensitas cahaya yang semakin tinggi (naik) mengakibatkan lalu fotosisntesis semakin tidak bertambah lagi walaupun intensitas cahaya terus bertambah. Batas ini disebut titik saturasi cahaya atau titik jenuh cahaya (ligh saturation point). Pada keadaan ini cahaya bukan sebagai sumber energi maupun sebagai bentuk, tetapi sebagai perusak (foto destruktif).
Intensitas cahaya yang tinggi mengakibatkan temperatur daun meningkat, sebagai akibat menutupnya stomata, sehingga sebagaian klorofil menjadi pecah dan rusak (fotodestruktif).
Menurut Kramerdan Kozlowski (1979) menerangkan bahwa laju fotosintesis tersebut diakibatkan oleh meningkatnya temperatur daun yang mengakibatkan penutupan stomata dan rusaknya klorofil, sehingga konsentrasi klorofil berkurang.
Sedangkan pada intensitas cahaya yang semakin menurun sampai batas tertentu jumlah O2 yang dikeluarkan oleh proses fotosintesis sama dengan jumlah O2 yang diperlukan oleh proses respirasi. Batas ini disebut titik kompensasi cahaya (light compensation point).
Oleh karena itu setiap jenis tanaman dan juga setiap jenis anggrek mempunyai batas titik kompensasi cahaya dan titik satura si cahaya yang tidak sama.
Tanaman anggrek yang menerima cahaya diatas intensitas cahaya yang optimal daunnya menunjukkan lebih tebal dengan jumlah klorofil lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Kramer dan Kozlowneski (1979) bahwa kandungan klorofil tanaman di bawah naungan lebih besar per satuan berat kering dibandingkan dengan tanaman yang terbuka, mampunyai daun yang lebih tebal, sehingga volumenya lebih besar per satuan luas.
Tanaman anggrek yang menerima intensitas cahaya yang semakin tinggi diduga jumlah daunnya semakin sedikit, hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh M. Mochtar Effendy (1987) bahwa intensitas cahaya berpengaruhnyata terhadp jumlah daun bibit Shreaacuminatissima dan Shorea leprosula. Intensitas cahaya yang semakin tinggi menunjukkan semakin kecil jumlah daunnya. Pertambahan jumlah daun semai maksimum dicapai pada intensitas kira-kira 50 % terhadap cahaya penuh. Dan menunjukkan bahwa jumlah klorofil daun mempunyai kecenderungan untuk
menurun dengan menaiknya intenssitas cahaya.
Jumlah klorofil daun erat hubungannya dengan proses fotosisntesis, sebab secara langsung akan mempengaruhi laju fotosintesiss. Laju fotosintesis menunjukkan kenaiikan dengan naiknya intensitas cahaya (Williams dan Yoseph, 1976), tetapi laju fotosintesis akan menurun setelah melewati titik saturasi cahaya.

Kesimpulan
 
Dari tinjauan pustaka tersebut diatas dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Setiap jenis anggrek membutuhkan intensitas cahaya matahari yang berbeda-beda.
2. Pertumbuhan tanaman anggrek yang optimal, salah satu faktornya adalah apabila diberikan kebutuhan intensitas cahaya mahatari secara optimal.
3. Intensitas cahaya matahari yang melebihi kebutuhan optimal tanaman anggrek, menyebabkan pertumbuhannya terhambat, ukuran daun lebih kecil, klorofil daun akan menjadi rusak, kemudian daun menjadi kekuningan = klorosis, dan meningkat daun menunjukkan gejala terbakar.
4. Intensitas cahaya matahari yang lebih rendah dari kebutuhan optimal tanaman anggrek akan menunjukkan bahwa daunnya tidak tebal, lebih hijau daunnya, peerakarannya berkurang, ruas-ruasnya lebih panjang (gejala etiolasi), bunganya berukang dan warna bunganya tidak cerah.

Daftar Pustaka
 
Daniel, T.W., J.W. Helm & F.S. Baker, 1979. Principles of silvicultur, 2 nd. Mc.Grow Hill Inc. New York.
Daubenmire, R.I., 1962. Plant and environment. A. texbook of plant ecology. Sec. ed. New York. John Willey and Sons Inc. London. pp 10 – 70.
Cutis, O.F., and D.G. Clark. 1950. An introduction to plant physiology Mc. Graw Hill Book Company Inc. New York Taronto London. pp. 214 – 248.
Kmamer, P.J. and T.T. Kozlowski, 1979. Psysoloogy of woody plant Academic Press. New York.
Latif, S.M. 1960. Bunga anggrek permata Belanda Indonesia. Sumur Bandung. pp 445.
Leopold, A.C. and P.E. Kriedemann, 1975. Plant growth and development The Dynamic of growth Sec. ed. pp. 75 – 105.
Madjo Indo, A.B.D., 1983. Kamus anggrek asing Indonesia. Ciawi Bogor pp. 223. Purbaningsih, S. 1988. pengeluaran bibit anggrek dari dalam botol. Lab. Budidaya jaringan Penelitian dan Pengembangan Anggrek Fak. Biologi. UGM. Yogyakarta. pp 9.
Simon & Schusters, 19. Complete guide to plant and flowers A. Fire side Book Published. Inc. New York. pp 522 (515-522).
Smith, H. & H.J. Weidelt. 1975. Phytochrom and photomorphogenesis and intreduction to the photocontrol of plant development MC. Graw Hill Book Co. London.
Sri Lestari, S. 1985. Mengenal dan bertanam anggrek. C.V. Aneka Ilmu. Semarang. pp. 124.
Soekotjo, W., 1975. Silvikultur khusus. Akademi Ilmu Kehutanan (AIK). Bandung.
Suryowinoto, S.M., 19. Sejarah Peranggrekan. Perhimpunan Anggrek Indonesia Cabang Yogyakarta dan Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. pp. 4.
Suryowinoto, M. 1988. Budidaya Tanaman Anggrek. Lab. Budidaya Jaringan. Penelitian dan Pengembangan Anggrek. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. pp. 22.
Sutiyoso, Yos., 19. Pedoman Menanam Anggrek. P.D. Putra Kencana. Jakarta. Pp. 23.
Weaver, J.E. and F.E. Clements. 1966. Plant Ecologi. Sc. Ed. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company Ltd. New Delhi. pp 380-385.
Williams, C.N. and K.T. Joseph. 1976. Climate, soil and crop production in the humid tropes. Oxford University Press. Kuala Lumpur. pp. 177.
Wilsie, C.P., 1962. Crop adaptation and distribution. Iowa state Univ. Diterjemahkan oleh Bintoro, M.H. dan Wiroatmodjo. 1978. Adaptasi dan distribusi tanaman pertanian. Faktor-faktor lingkungan. Dep. Agronomi Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. pp. 234.

No comments: